Wednesday, September 23, 2020

Berislam pada Tingkat Intelektual


Bercermin pada fenomena yang sering terjadi belakangan ini, tidak sedikit para intelektual muslim yang sering memberikan pernyataan kontroversial: Pro terhadap LGBT, menghalalkan seks di luar nikah, penghapusan mata pelajaran agama dari kurikulum sekolah, mengingkari kebenaran Al-Qur’an, jilbab tidaklah wajib bagi seorang muslimah, dan lain sebagainya. Apa yang menyebabkan seorang muslim berpikiran demikian? Padahal bisa jadi mereka juga menjalankan shalat, puasa, serta menunaikan zakat. Apakah sudah tepat bagi seseorang untuk shalih secara ritual tapi tidak shalih secara intelektual? Bagaimana kita menempatkan intelektual dalam koridor keshalihan?

Ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi menjawab fenomena tersebut dalam bukunya yang berjudul Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual (2019). Beliau menyampaikan jika fenomena itu adalah suatu kesalahan berpikir, lebih lanjut disampaikan bahwa mengamalkan sebagai cara pandang berbeda dengan berislam dengan mengamalkan syari’at. Sebab dengan mengamalkan syari’at tidak menjamin mengubah cara berpikir. Namun, untuk dapat berpikir dengan cara yang benar, seorang muslim pertama-tama harus dapat memahami syari’at Islam dengan baik sebagai sebuah sistem tazkiyatu al-nafs yang mempunyai tujuan (maqasid). Syariat Islam harus dikerjakan dengan keimanan atau disertai dengan aqidah. Tanpa aqidah, syari’at tidak mempunyai makna apa-apa. Aqidah-pun harus dipahami dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada celah untuk tergelincir pada kesalahpahaman yang menyesatkan seperti kemusyrikan dan kekufuran.

Jika seseorang telah memahami aqidah dengan benar maka keislamannya akan meningkat menjadi akhlaq yang dijaga dengan ketaqwaan. Maka dari itu orang yang berakhlaq mulia itu mestinya tidak hanya amalan syari’atnya yang sempurna, keimanannya yang kokoh serta perilakunya (amalnya) yang shaleh, tapi juga pikirannya yang lurus, benar dan tidak keluar dari konsep-konsep yang terdapat dalam syari’at, aqidah dan akhlak. Pengetahuan (syari’ah), keimanan (aqidah), dan perbuatan (akhlaq) dalam Islam itu berpuncak pada cara pandang yang benar atau dalam pengertian umum disebut worldview.

Jika pengertian umum worldview adalah pikiran, perasaan, atau keyakinan yang menjadi motor bagi perubahan maka ini tidak lain dari iman-ilmu-amal dalam Islam. Pengertian worldview Islam adalah ilmu dan iman yang menjadi asas bagi segala perbuatan (akhlaq). Perbuatan (akhlaq-ihsan) harus berdasarkan pada keyakinan (iman) dan keimanan wajib dikaitkan dengan Islam (ilmu). Seorang muslim tidak akan berakhlaq baik jika dia tidak mempunyai ilmu tentang baik atau buruk dalam Islam. Ia juga tidak akan berpikir benar jika tidak tahu perbedaan antara salah dan benar menurut ajaran Islam. Jadi, ilmu, iman, dan amal telah merupakan worldview. Asalkan amal-amal seorang mukmin itu disertai dengan cara berpikir atau cara pandang yang benar. 

Jika seorang mukmin dan seorang muhsin beramal, dia tentu akan beramal berdasarkan pikirannya, sehingga ketika memandang dan melakukan sesuatu ia selalu berdasarkan apa yang diajarkan Islam. Seorang mukmin dan muhsin memandang segala sesuatu dari aspek duniawi dan ukhrawi, lahiriyah dan batiniyah, empiris dan non-empiris yaitu dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Ketika memakan makanan apapun seorang muslim, mukmin, dan muhsin tidak hanya melihat dari hygenis atau aspek nutrisi makanan tersebut, tapi juga melihat sesuatu dibalik itu yaitu status halal-haramnya. Seorang muslim, mukmin, dan muhsin dalam melakukan perbuatan, dia tidak akan melakukannya tanpa pertimbangan dan senantiasa berada pada batasan tujuan syari’ah.

*Dikutip dari buku karya Ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi dengan judul Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual (2019)

0 comments: